Kesuksesan sebuah bisnis, nyata banyak menggoda entitas bisnis lain untuk meniru. Kita menemukan banyak produk me too yang bisa lebih booming dibandingkan dengan produk “original”nya. Dengan pemahaman ini, Sour Sally mencoba fokus pada karakter, story, ikon, dan memperkuat brand equitynya, sebagai sebuah strategi diferensiasi—agar tidak mudah melahirkan me too.
Kolonel Harland Sanders, sudah meninggal dunia 29 tahun lalu. Sanders, dengan janggut putih dan senyum ramah, adalah sosok ikonik bagi KFC yang didirikannya setelah ia sukses melakukan usaha negosiasi dengan restoran yang ke-100, dimana dari sinilah jaringan waralaba KFC berawal.
Namun, Sanders bukanlah Sally. Sally adalah gadis berusia 14 tahun, dengan rambut dikuncir dua, dan senang memakai kaus kaki belang-belang. “Orangtua”nya memberi nama Sally karena nama itu mudah diingat, dan ear catching. “Nama itu terkesan cute,” kata Marcus Kandou, Marcomm & PR Director PT Berjaya Sally Ceria, prinsipal outlet Sour Sally.
“Kami memang sangat mendetail pada konsep branding,” aku Marcus. Nama brand, lanjut Marcus, sangat penting untuk brand equity dan karakter brand agar tidak mudah ditiru—terutama di dunia retail yang rentan me too. Dus, karakter Sally juga diimplementasikan pada desain interior pada gerainya, seolah kamar seorang gadis yang girly, dengan warna dominan hijau dan pink yang terkesan welcoming. Di 'kamar' ini, kaki kursi juga hitam putih, seperti kaus kaki Sally. “Brand yang sukses adalah gabungan dari produk yang berkualitas dan kejelian menjaga equitas mereknya,” tambah Marcus.
Ketika Sally “diputuskan” bergender perempuan, menurut Marcus adalah karena biasanya yang health conscious itu adalah perempuan. “Target market awal kami adalah segmen AB, cewek usia belasan sampai 24, dari yang sekolah, sampai kuliah,” jelas Marcus. Namun, pada kenyataannya Sour Sally banyak digemari kalangan lain, seperti ibu-ibu, sampai eksekutif muda. “Yang penting kami fokus pada target market dulu,” tambah Marcus.
Upaya melahirkan Sally yang berkarakter ini, aku Marcus telah menyedot proporsi budget terbesar—bekerja sama dengan sebuah branding agency dari Singapura. Tampak sebuah niat keras untuk tidak menciptakan sebuah brand yang semenjana. “Once you think, think big,” tegas Marcus.
Sour Sally yang menjelma situs animasi “Sally in Yogurthy Land” dengan dukungan musik riang (melodinya membawa ambience taman bermain), adalah wujud dari keseriusan strategi brand yang didirikan oleh Donny Pramono ini. Mungkin tidak banyak yang tahu, bahwa rumah Sally di jagad maya terpilih sebagai Favorite Website Award (FWA) bulan September 2008, sebuah ajang yang disponsori oleh Adobe—dengan voters dari seluruh dunia. “Saat itu fans Sally di Indonesia masih sedikit,” tambah Marcus. Content website ini, lanjut Marcus, masih akan dikembangkan, misalnya melalui penambahan games.
Yang juga penting adalah penyampaian komunikasi Sally yang mengambil konsep terintegrasi—terjalin melalui relasi dengan media, ataupun pemberdayaan social network yang marak belakangan ini, serta PR-ing. “Selain karena faktor media, kami memang sangat terbantu oleh adanya situs jejaring sosial yang membantu menciptakan komunikasi dua arah,” tutur Marcus.
Komunikasi inilah kata Marcus yang kemudian membuat Sour Sally menjadi talk of the town—bahkan di beberapa outlet bisa terjadi antrian. Seseorang dengan user name “masasih” menulis kesan berikut di Detik Forum: “Ada yang perhatiin ga sih sekarang orang-orang lagi hobby banget beli sour sally sampe rela ngantri panjang banget di mall-mall gitu? Padahal sebenarnya kalau yang sejenis sour sally itu sama aja sama yogen fruz ato yoghurt yang newzealand.” Euforia terhadap Sour Sally ini bahkan pernah dimanfaatkan oleh Sony Pictures International yang menggaet mitra lokal untuk mensponsori launching film Pink Panther Februari 2008.
Keputusan untuk memanfaatkan ruang di jagad maya, juga didorong oleh kejelian Sally melihat kebiasaan target market produk olahan yoghurt ini. “Target market kami senang hang out ke kafe, sangat fashionable, dan gadget conscious,” kata Marcus. Oleh karena itu, lanjut Marcus, promosi menggunakan situs seperti Facebook atau Twitter menjadi lebih ber-impact. “Intinya strategi marketing communication-nya harus lebih kreatif, apalagi kami belum ada budget untuk beriklan,” tambah Marcus.
Namun, Marcus mengakui bahwa ada elemen lain yang harus turut diperkuat yaitu visibility. “Pada tahap introduksi, eksistensi dan konsistensi gerai sangat penting,” kata Marcus. Oleh karena itulah, sampai usianya yang beberapa bulan lebih dari satu tahun ini—kamar pertama Sally dikunjungi pada 15 Mei 2008 di Senayan City, Sour Sally sudah memiliki lebih dari 10 gerai—semuanya di mal.
Kini, Sally semakin tumbuh dan berkembang—beberapa media menyebut Sour Sally sebagai “Phenomenal Rising Star”. Konon rahasianya adalah memperlakukan brand seolah bayi. “Kami harus tunjukkan sisi orangtua, dengan memberi gizi, membesarkan, dan memberi “teman-teman bermain” yang tepat,” ujar Marcus. Sally kian tersenyum lebar karena orangtuanya telah memilihkan “teman” seperti X2 club, MRA Printed media, Blitz Megaplex, dan sebuah fitnes center dalam proses penjajagan menjadi mitra kolaborasi. “Bentuk kerjasamanya adalah cross benefit antar member, jadi kami sekaligus bisa meng-grab komunitas yang suka nonton, baca sampai dugem,” jelas Marcus yang juga sedang mempersiapkan acara khusus bagi para fans gadis bernama Sally ini.
Elemen terpenting dalam brand building Sour Sally adalah suasana di outletnya yang segar dan karakternya yang agak unik. Strategi dengan membuat karakter, ikon, dan lain-lain saya rasa sudah tepat, karena telah membuat Sour Sally memiliki diferensiasi, dan berhasil membentuk kepribadian brandnya melalui seorang gadis kecil dengan kaus kaki belang-belang yang khas.
Sementara itu, keuntungan dari segi visibility dengan banyaknya gerai di mana-mana adalah penguatan. Konsumen seperti diingatkan dan ditarik oleh keberadaan outletnya. Meski saya belum banyak memperhatikan aktivitas Sally, melihat situasi outlet tersebut dan juga websitenya, saya pikir brand guidelines Sour Sally sudah cukup konsisten, dan pesan brand-nya lumayan dapat ditangkap dengan jelas oleh target marketnya.
Selain itu, Sour Sally sendiri adalah brand yang relatif baru sehingga masih perlu mengadakan kerjasama dengan brand lain untuk memperluas penetrasi di pasar. Beberapa hal yang perlu diperhatikan untuk bisnis seperti ini adalah faktor trend sesaat dan entry barrier yang relatif kecil. Konsumen lokal dikenal latah dan senang dengan hal-hal baru.
Entry barrier kecil artinya pihak lain juga dapat masuk ke bisnis ini karena bahan bakunya umum dan tidak memiliki resep rahasia yang signifikan. Otomatis tingkat kompetisi akan menjadi semakin keras begitu pihak lain mulai banyak yang bermain karena melihat response konsumen yang tinggi. Melalui kerjasama dengan brand lain, tentunya dapat muncul program-program baru secara berkesinambungan (Iski - mix)
Lihat juga : soto, ice cream
Tidak ada komentar:
Posting Komentar